Translate

Senin, 11 Juli 2016

Pesan Terakhir Kakek


Kemarin gue dan nyokap tiba- tiba berflashback ria. Dan entah gimana tiba- tiba kami berdua membicarakan sosok kakek gue yang tak lain juga adalah ayah dari nyokap gue. Nyokap bilang kakek gue adalah sesosok ayah yang mendekati sempurna. Dia sabar, penyayang, bertanggung jawab, mampu mendengarkan setiap cerita anaknya, mampu juga memberikan saran yang tepat, yah pokoknya seperti yang tadi dibilang bahwa dia hampir mendekati sempurna di mata anaknya.

Gue lahir di Jakarta dan menempuh pendidikan dari TK- SD di Tangerang- Jakarta, jadi ketika itu gue belum bisa menggunakan bahasa hakka atau tiochiu ( bahasa daerah keturunan Chinese) karena lingkungan. Teman gue dari TK- SD juga mayoritas keturunan Chinese tapi banyak juga yang seperti gue nggak bisa memakai bahasa daerah Chinese/ bahasa ibunya. Kebanyakan sih cuma bisa mendengar alias tahu artinya, hanya kalau diajak berdialog nggak bisa. Kalau gue? sama sekali nggak bisa.

Singkat cerita, gue akhirnya pindah SMP keluar pulau. Ya, gue SMP di Kalimantan Barat karena ada beberapa pertimbangan, dan salah satunya juga karena gue nggak bisa bahasa daerah Chinese jadi keluarga gue berpikir dengan gue tinggal di Kalimantan Barat yang mayoritas Chinesenya masih totok banget, gue jadi bisa beradaptasi dan mempelajari bahasa tersebut.

Ketika SMP 1, gue akhirnya bisa mengerti bahasa tersebut. Tapi ya cuma mendengar aja. Kalau berkomunikasi belum terlalu bisa. Nah, saat itu kakek gue pulang dari Jakarta ke Kalimantan. Beliau dulu tinggal di Jakarta untuk menyembuhkan penyakit komplikasinya. Otomatis, kakek gue bertemu dengan gue. Kami makan di meja yang sama dan disitulah for the first time gue benar- benar diajak ngobrol sama kakek gue. Dia berbicara ke gue dengan menggunakan bahasa hakka dicampur sedikit bahasa Indonesia. Sebenarnya bahasa Indonesianya kurang lancar, ia lebih fasih menggunakan bahasa hakka, tiouchiu, dan mandarin.

Sambil menikmati hidangan yang ada, kakek gue semacam menasehati kalau makan itu harus dihabiskan. Jangan sampai ada sisa sedikit pun. Kalau kenyang gimana? Ya makanya ngambilnya secukupnya aja, jangan rakus. Kalau mau baru tinggal ditambah lagi. Karena dengan membuang nasi, artinya kita semacam kurang menghargai apa yang telah Tuhan berikan. Syukur- syukur masih bisa makan, kan? Banyak diluar sana yang mau makan aja sulit. Makanya kita perlu bersyukur. Intinya seperti itulah yang kakek gue sampaikan.

Kakek gue pun kembali ke Jakarta. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 28 Oktober kakek gue dipanggil Tuhan. Ketika itu gue langsung nangis. Ya, meskipun gue nggak akrab sama kakek gue tapi gue setidaknya punya kesan dengan beliau saat makan bersamanya setahun yang lalu. Dan ajaran kakek gue itu akan selalu gue ingat sampai nanti. Gue agak menyesal sih, kenapa dulu dari kecil gue nggak punya niat sedikit pun belajar bahasa yang dikuasainya. Kalau seandainya dari kecil gue bisa, mungkin akan tercipta sejuta kenangan gue bersama kakek gue.